Tuesday, 9 October 2012

penulisan sejarah di indonesia

PENULISAN SEJARAH DI INDONESIA
Historiografi Indonesia baru modern dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Sementara itu, kurun historiografi tradisional dapat dianggap berakhir dengan ditulisnya buku Cristische Beschouwing van de Sadjarah van Banten oleh Hoesein Djajadiningrat pada tahun 1913. Buku ini dengan cara kritis mengkaji penulisan babad dalam khasanah sastra. Namun, pertanyaan tentang historiografi Indonesia modern barulah untuk pertama kali muncul dalam Seminar Sejarah Nasiona Pertama itu. Agenda seminar itu meliputi filsafat sejarah nasional, periodesasi sejarah indonesia, dan pendidikan sejarah. Dari sinilah mulai “nasionalisasi” atau – untuk menggunakan istilah saat ini “pribumisasi” historiografi Indonesia.
Perdebatan yang berkelanjutan sampai tahun 1970 ialah, pertama, pertanyaan tentang Neerlandocentrisme dan Indonesiacentrisme- bagaimana meletakkan tekanan pada peran sejarah orang Indonesia dalan sejarah Indonesia. Kepustakaan sejarah yang ada pada waktu itu lebih banyak menekankan peranan orang Eropa, dan melihan sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia. Pertanyaan kedua ialah tentang objektivitas dalam historiografi, suatu perluasan dari pertanyaan pertama. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970, tidak saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana sejarah seharusnya ditulis, tetapi juga kegiatan dalam arti kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan kelembagaan, ideologi, dan pekembangan pelembagaannya, yaitu bagaimana kepustakaan sejarah itu di produksikan, semacam “sosiologi historiografi”. Masalah lain, ideologi dan substansi akan disinggung dalam konsep kelembagaan itu. Kategori pertama dari kepustakaan sejarah ialah yang ditulis oleh sejarawan akademisi, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar dalam perkembangan historiografi. Alasannya cukup jelas, sejarawan akademisi ialah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat yang penuh pertimbangan yang telah ditulis- sekalipun, sayang mereka mungkin yang paling sedikit berproduksi.
Sejarawan akademisilah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Meraka inilah yang diundang untuk menghadiri seminar-seminar sejarah, dan kegiatan lain yang mengandung sejarah. Kegiatan mereka yang luas, bukan saja dalam penulisan, tetapi terlibat juga dalam pengajaran, penelitian, dan kegiatan yang didefinisikan sebagai “penabdian masyarakat”. Sejak jurusan sejarah yang pertama didirikan pada tahun 1949, jumlah jurusan dan program ilmu sejarah terus berkembang, baik dalam wadah universitas maupun institut keguruan.
Satu hal yang perlu dicatat tentang sejarawan akademisi, yaitu ketergantungan pada bantuan pemerintah sebagai sponsor bagi kegiatan-kegiatan mereka. Pemerintah, melalui lembaga-lembaga atau universitas telah menyokong sejarawan akademis dalam bentuk penelitian, seminar, dan bentuk pertemuan-pertemuan ilmiah. Pemerintah juga membantu sejarawan dengan melibatkan mereka dalam penelitian yang secara akademis diluar batas dinding ilmu sejarah, seperti penelitian mengenai penbangunan daerah, lingkungan hidup,budaya, dan sebagainya. Ketergantungan pada dana pemerintah ada manfaatnya, terutama dalam interaksi sejarawan dengan ilmuan lain dalam proyek-proyek penelitian, sehingga mereka belajar ilmu-ilmu sosial.
Mengenai pendidikan sejarawan, ada kemajuan besar dalam dua dasawarsa terakhir. Tradisi tradisi pendidikan filologis dari pendidikan sejarawan sudah menjadi masa lalu. Sekarang, sejarawan belajar ilmu-ilmu sosial, studi wilayah, bahkan statistik. Tema-tema yang dipilih untuk menulis skripsi juga mulai menunjukkan arah baru. Sejarah sosial dalam arti luas merupakan tema baru yang paling banyak ditulis sejarawan akademis. Dengan perluasan teori dan metodologi, mereka yang menulis skripsi mampu menjangkau topik-topik yang tidak terbayangkan tiga puluh tahun yang lalu. Namun, dibalik kemampuan mereka para akademisi memahami dan mempelajari perkembangan sejarah, merka juga memiliki kekurangan dalam tulisan-tulisan mereka. Kekurangan terbesar dari tulisan-tulisan akademis itu ialah pembagian perhatian wilayah yang tidak seimbang. Kebanyakan skripsi dan disertasi memusatkan perhatian pada daerah jawa. Dalam pembagian waktu, perhatian utama ialah pada abad ke-19, hanya sedikit yang menaruh perhatian pada masalah kontemporer, barangkali sebab utamanya ialah faktor resiko “politik” yang terlalu besar dalam penggarapan priode kontemporer.
Mengenai tema penulisan masih sedikit sejarawan yang menulis sejarah ekonomi. Kelangkaan ini dapat ditinjau sebabnya pada kekurangan peralatan teori dan metodologi. Ilmu ekonomi ialah ilmu sosial yang relatif berkembang mendekati ilmu-ilmu eksakta, dengan terminologi teknis yang baku, sehingga sejarawan harus sungguh-sungguh menguasai teori ekonomi sebelum menulis sesuatu. Masalah metode juga menjadi hambatan. Pengajaran statistik atau lebih lagi ekonometriks belum menjadi bagian bagi pendidikan sejarawan. Apalagi sumber daya manusianya, mereka yang bergerak dalam bidang sejarah berasal dari SLTA yang tidak banyak menggunakan matematika, atau mereka yang berasal dari SLTA IPA tetapi dengan minat matematika yang rendah. Selain itu, juga bidang sejarah budaya, kesenian, intelektual, dan biografi belum mendapat perhatian yang cukup dalam penulisan S-1,S-2 maupun S-3. Tradisi intelektual yang melahirakan sejarawan sudah cukup berakar, etapi wawasannya masih perlu diperluas lagi.

Daftar Pustaka
“Crisis and Contunity: Indonesian Economy in the Twentieth Century” , Lembaran Sejarah, Volume 3, No. 1., 2000.
A.H. Nasution, Sedjarah Perdjuangan Nasional Dibidang Bersendjata (Djakarta: Mega Bookstore, 1996).
A. Makmur Makka (ed.), Habibie: Dari Pare-Pare Lewat Aachen, dan Tulisan-Tulisan Lain (Jakarta: Gapura Media, 1986).
Abdul Aziz Theba, Islam dan Negara dalam Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insansi Press, 1996).

1 comment: