PENULISAN SEJARAH DI INDONESIA
Historiografi
Indonesia baru modern dimulai sekitar tahun 1957, waktu diselenggarakannya
Seminar Sejarah Nasional Indonesia Pertama di Yogyakarta. Tahun itu dianggap
sebagai titik tolak kesadaran sejarah baru. Sementara itu, kurun historiografi
tradisional dapat dianggap berakhir dengan ditulisnya buku Cristische
Beschouwing van de Sadjarah van Banten oleh Hoesein Djajadiningrat pada
tahun 1913. Buku ini dengan cara kritis mengkaji penulisan babad dalam
khasanah sastra. Namun, pertanyaan tentang historiografi Indonesia modern
barulah untuk pertama kali muncul dalam Seminar Sejarah Nasiona Pertama itu.
Agenda seminar itu meliputi filsafat sejarah nasional, periodesasi sejarah
indonesia, dan pendidikan sejarah. Dari sinilah mulai “nasionalisasi” atau –
untuk menggunakan istilah saat ini “pribumisasi” historiografi Indonesia.
Perdebatan yang
berkelanjutan sampai tahun 1970 ialah, pertama, pertanyaan tentang
Neerlandocentrisme dan Indonesiacentrisme- bagaimana meletakkan tekanan pada
peran sejarah orang Indonesia dalan sejarah Indonesia. Kepustakaan sejarah yang
ada pada waktu itu lebih banyak menekankan peranan orang Eropa, dan melihan
sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia. Pertanyaan kedua
ialah tentang objektivitas dalam historiografi, suatu perluasan dari pertanyaan
pertama. Banyak perubahan yang terjadi pada tahun-tahun setelah 1970, tidak
saja dalam arti pemikiran tentang bagaimana sejarah seharusnya ditulis, tetapi
juga kegiatan dalam arti kongkret, seperti diwujudkan dalam perkembangan
kelembagaan, ideologi, dan pekembangan pelembagaannya, yaitu bagaimana
kepustakaan sejarah itu di produksikan, semacam “sosiologi historiografi”.
Masalah lain, ideologi dan substansi akan disinggung dalam konsep kelembagaan
itu. Kategori pertama dari kepustakaan sejarah ialah yang ditulis oleh
sejarawan akademisi, kelompok yang sebenarnya mempunyai tanggung jawab terbesar
dalam perkembangan historiografi. Alasannya cukup jelas, sejarawan akademisi
ialah mereka yang paling sadar tentang apa yang dikerjakan, mempunyai pendapat
yang penuh pertimbangan yang telah ditulis- sekalipun, sayang mereka mungkin
yang paling sedikit berproduksi.
Sejarawan
akademisilah satu-satunya kelompok yang dengan sadar menyebut dirinya sebagai
sejarawan, dan mendapat pengakuan demikian. Meraka inilah yang diundang untuk
menghadiri seminar-seminar sejarah, dan kegiatan lain yang mengandung sejarah.
Kegiatan mereka yang luas, bukan saja dalam penulisan, tetapi terlibat juga
dalam pengajaran, penelitian, dan kegiatan yang didefinisikan sebagai
“penabdian masyarakat”. Sejak jurusan sejarah yang pertama didirikan pada tahun
1949, jumlah jurusan dan program ilmu sejarah terus berkembang, baik dalam
wadah universitas maupun institut keguruan.
Satu hal yang perlu
dicatat tentang sejarawan akademisi, yaitu ketergantungan pada bantuan
pemerintah sebagai sponsor bagi kegiatan-kegiatan mereka. Pemerintah, melalui
lembaga-lembaga atau universitas telah menyokong sejarawan akademis dalam
bentuk penelitian, seminar, dan bentuk pertemuan-pertemuan ilmiah. Pemerintah
juga membantu sejarawan dengan melibatkan mereka dalam penelitian yang secara
akademis diluar batas dinding ilmu sejarah, seperti penelitian mengenai
penbangunan daerah, lingkungan hidup,budaya, dan sebagainya. Ketergantungan
pada dana pemerintah ada manfaatnya, terutama dalam interaksi sejarawan dengan
ilmuan lain dalam proyek-proyek penelitian, sehingga mereka belajar ilmu-ilmu
sosial.
Mengenai pendidikan
sejarawan, ada kemajuan besar dalam dua dasawarsa terakhir. Tradisi tradisi
pendidikan filologis dari pendidikan sejarawan sudah menjadi masa lalu.
Sekarang, sejarawan belajar ilmu-ilmu sosial, studi wilayah, bahkan statistik.
Tema-tema yang dipilih untuk menulis skripsi juga mulai menunjukkan arah baru.
Sejarah sosial dalam arti luas merupakan tema baru yang paling banyak ditulis
sejarawan akademis. Dengan perluasan teori dan metodologi, mereka yang menulis
skripsi mampu menjangkau topik-topik yang tidak terbayangkan tiga puluh tahun
yang lalu. Namun, dibalik kemampuan mereka para akademisi memahami dan
mempelajari perkembangan sejarah, merka juga memiliki kekurangan dalam
tulisan-tulisan mereka. Kekurangan terbesar dari tulisan-tulisan akademis itu
ialah pembagian perhatian wilayah yang tidak seimbang. Kebanyakan skripsi dan
disertasi memusatkan perhatian pada daerah jawa. Dalam pembagian waktu,
perhatian utama ialah pada abad ke-19, hanya sedikit yang menaruh perhatian
pada masalah kontemporer, barangkali sebab utamanya ialah faktor resiko
“politik” yang terlalu besar dalam penggarapan priode kontemporer.
Mengenai tema
penulisan masih sedikit sejarawan yang menulis sejarah ekonomi. Kelangkaan ini
dapat ditinjau sebabnya pada kekurangan peralatan teori dan metodologi. Ilmu
ekonomi ialah ilmu sosial yang relatif berkembang mendekati ilmu-ilmu eksakta,
dengan terminologi teknis yang baku, sehingga sejarawan harus sungguh-sungguh
menguasai teori ekonomi sebelum menulis sesuatu. Masalah metode juga menjadi
hambatan. Pengajaran statistik atau lebih lagi ekonometriks belum menjadi
bagian bagi pendidikan sejarawan. Apalagi sumber daya manusianya, mereka yang
bergerak dalam bidang sejarah berasal dari SLTA yang tidak banyak menggunakan
matematika, atau mereka yang berasal dari SLTA IPA tetapi dengan minat
matematika yang rendah. Selain itu, juga bidang sejarah budaya, kesenian,
intelektual, dan biografi belum mendapat perhatian yang cukup dalam penulisan
S-1,S-2 maupun S-3. Tradisi intelektual yang melahirakan sejarawan sudah cukup
berakar, etapi wawasannya masih perlu diperluas lagi.
Daftar Pustaka
“Crisis and Contunity: Indonesian Economy in
the Twentieth Century” , Lembaran Sejarah, Volume 3, No. 1., 2000.
A.H. Nasution, Sedjarah Perdjuangan Nasional
Dibidang Bersendjata (Djakarta: Mega Bookstore, 1996).
A. Makmur Makka (ed.), Habibie: Dari Pare-Pare
Lewat Aachen, dan Tulisan-Tulisan Lain (Jakarta: Gapura Media, 1986).
Abdul Aziz Theba, Islam dan Negara dalam
Politik Orde Baru (Jakarta: Gema Insansi Press, 1996).
blog yang sangat bagus..
ReplyDelete