Tuesday, 13 November 2012

Sejarah perfilm-an Indonesia


Perfilman Indonesia

Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam perkembangannya. Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31 Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
 Selain memiliki sejarah yang panjang, dunia perfilman indonesia juga sempat menjadi raja di negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain, Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike Ardilla, dan Paramitha Rusady.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, hingga muncul film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi cilik yang penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan kesuksesan film ini secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Petualangan Sherina (film oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan film Jelangkung (Di Sini Ada Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan tema yang agak berbeda seperti Arisan!, Yang disutradarai  oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju kesana telah terlihat. Pada suatu saat nanti kemungkin perfilman indonesia dapat seperti perfilman Amerika.
Selain dalam berkembangnya film, banyak muncul persaingan dalam pasar industri film dalam Negeri. Ketimpangan yang tidak sehat untuk tumbuhnya industri film ini hanya bisa diperbaiki dengan memperbaiki iklim persaingan yang sehat. Banyak yang berpendapat bahwa akhirnya pemerintah harus turun tangan. Namun, mengingat sejarahnya, campur tangan pemerintah lebih banyak menambah kekeruhan daripada kejernihan. Mungkin lebih baik kalau penyeimbangan ketimpangan itu dilakukan dengan pertimbangan bisnis. Hal ini memang tidak akan terjadi dengan seketika tapi butuh tawar-menawar terus-menerus antara para pelakunya. Para produser harus mulai berani melakukan tawar-menawar itu, dan melihat kepentingan bersama dalam jangka panjang.
Realitasnya sekarang ini hanya ada dua kelompok pengedar/penayang: 21 dan Blitz. Ini bukan keadaan yang ideal, karena sebaiknya minimal ada tiga jalur. Blitz, menurut Ananda, sudah didekati banyak pengusaha bioskop kecil di daerah untuk bergabung, tapi dengan satu syarat: jaminan suplai film nasional. Sesuatu yang justru di luar kendalinya. Kalau produser mau menjawab kebutuhan ini, maka Blitz akan lebih membesar, produser punya posisi tawar, di samping memperbesar pendapatan yang sekarang ada. Angka satu juta untuk setiap judul film, rasanya bukan angka yang terlalu muskil diraih, mengingat jumlah penduduk Indonesia sekarang ini. Yang dibutuhkan adalah tambahan jumlah pengadaan bioskop, guna memenuhi penggemar film dalam menonton. Karena dengan penambahan bioskop di negeri ini, maka semakin banyak film yang dapat ditonton dan tidak harus mengantri.
Hal yang juga patut dipertimbangkan adalah kenapa 21 tidak “memecah diri” untuk menghidupkan persaingan internal. Bukankah 123 gedung dan 485 layar itu bisa dipecah menjadi tiga jalur dan dipimpin oleh tiga orang pemrogram tayangan (dulu istilahnya booker, sekarang programmer), hingga mereka bisa mengembangkan karakteristik masing-masing jalur sesuai hukum tawar-menawar dengan penontonnya. Karakter bioskop ini yang sekarang tidak terpelihara lagi. Semua jenis dan kualitas film menumpuk di satu gedung. Bukankah persaingan sehat (luar maupun dalam) akan lebih mengembangkan perusahaan? Kecuali, kalau persaingan memang dianggap sebagai momok, karena sudah terlalu lama dibuai oleh kemudahan monopolistik. Itu berarti bukan pengusaha sungguhan alias entrepreneur
Kalau dilihat dari isinya, film dibedakan menjadi jenis film fiksi dan non fiksi. Sebagai contoh, untuk film non fiksi adalah film dokumenter yang menjelaskan tentang dokumentasi sebuah kejadian alam, flora, fauna maupun manusia. Sedangkan untuk kelompok fiksi, dalam dunia perfilman kita mengenal jenis-jenis film yang berupa drama, suspence atau action, science fiction, horror dan Film Musikal. Ada Apa dengan Cinta merupakan Film Drama, Die Hard merupakan jenis Film Action atau Suspence, Transformer merupakan film science fiction, Jaelangkung merupakan jenis film Horor dan Petualangan Sherina yang pernah booming pada waktu lalu merupakan jenis Film Musikal. Dari segi penontonnya, film dibagi menjadi film anak, remaja, dewasa dan semua umur. Dari segi pemerannya, film dibedakan pula menjadi film animasi dan nonanimasi. Sedangkan menurut durasinya, film dibedakan menjadi film panjang dan film pendek. Film pendek mempunyai durasi kurang dari 60 menit. untuk bisa membuat film panjang yang bagus, akan lebih baik apabila kita belajar membuat film pendek terlebih dahulu, seperti pengalaman sutradara terkenal, Rudi Sujarwo yang bisa berhasil membuat film panjang dengan terlebih dahulu membuat film-film pendek yang bagus.
Sebagai salah satu pekerja film, Garin Nugroho sudah bisa melihat adanya perkembangan di tahun depan. Sutradara senior ini mengatakan bahwa kualitas film Indonesia akan lebih baik pada 2010, berbeda dengan 2009 yang jumlahnya banyak namun kualitasnya turun. Garin di Jakarta, Kamis, (31/12/2010) menegaskan bahwa sepanjang pengamatannya di tahun 2009 perfilman Indonesia mengalami peningkatan dalam jumlah, namun kualitasnya menurun. "Kalau dari segi jumlah meningkat namun dari segi kualitas film film kita menurun sepanjang tahun 2009” katanya.
Ia mengakui, kualitas film Indonesia masih kalah dengan negara tetangga seperti Singapura, Thailand, atau Filipina. Namun pada 2010 dan tahun-tahun kedepan, ia yakin bahwa peningkatan kualitas film Indonesia akan terjadi seiring lahirnya sineas generasi baru pasca Riri Riza dkk. "Akan lahir generasi baru yang sehebat Riri Riza, Nia Dinata dan lain sebagainya,katanya.
Oleh karena itu Garin Nugroho memprediksi bahwa peningkatan kualitas film Indonesia tidak terlalu signifikan. Generasi baru yang akan muncul berasal dari wajah baru ataupun wajah lama yang selama ini belum diberi ruang untuk mengembangkan karyanya ke publik untuk dinikmati masyarakat luas, baik dari kalangan menengah keatas. "Saya optimis bahwa kualitas perfilman di Indonesia akan terus mengalami peningkatan di tangan sutradara handal yang sudah ada dan lahirnya para generasi baru mendatang," katanya.
Namun pada kenyataan saat ini, para sutradara pembuat film sangatlah kreatif dalam membuat karyanya ke ranah publik. Seperti film Laskar Pelangi, Senandung diatas Awan, dan lain-lain. Dan ada film yang terbaru saat ini seperti Perahu Kertas dan Cita-citaku setinggi Tanah. Dengan munculnya film-film baru tersebut cukup mewarnai dunia perfilman di Indonesia. Selain itu juga film-film kreatif yang muncul saat ini tidak hanya menampilkan pemain-pemain film yang lama, namun banyak memunculkan wajah-wajah baru dalam kancah film Indonesia yang hanya didominasi oleh wajah lama.










Referensi
1.      JB Kristanto, dalam buku Katalog Film Indonesia dan juga berprofesi sebagai pengamat film di Indonesia.
3.      Misbach Yusa Biran menyajikan Sejarah Film Indonesia bagian 1 (tahun 1900-1950)

1 comment:

  1. Salam, saya cuba mencari buku/artikel tentang sejarah perfileman horror di Indonesia, terutama pada period hujung 1070an hingga awal 80an. apa buku yang boleh saya rujuk?

    ReplyDelete