Perfilman Indonesia
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dalam
perkembangannya. Film pertama yang dibuat pertama kalinya di Indonesia adalah
film bisu tahun 1926 yang berjudul Loetoeng Kasaroeng dan dibuat oleh
sutradara Belanda G. Kruger dan L. Heuveldorp. Saat film ini dibuat dan
dirilis, negara Indonesia belum ada dan masih merupakan Hindia Belanda, wilayah
jajahan Kerajaan Belanda. Film ini dibuat dengan didukung oleh aktor lokal oleh
Perusahaan Film Jawa NV di Bandung dan muncul pertama kalinya pada tanggal 31
Desember, 1926 di teater Elite and Majestic, Bandung.
Selain memiliki
sejarah yang panjang, dunia perfilman indonesia juga sempat menjadi raja di
negara sendiri pada tahun 1980-an, ketika film Indonesia merajai
bioskop-bioskop lokal. Film-film yang terkenal pada saat itu antara lain,
Catatan si Boy, Blok M dan masih banyak film lain. Bintang-bintang muda
yang terkenal pada saat itu antara lain Onky Alexander, Meriam Bellina, Nike
Ardilla, dan Paramitha Rusady.
Pada tahun-tahun itu acara Festival Film Indonesia masih
diadakan tiap tahun untuk memberikan penghargaan kepada insan film Indonesia
pada saat itu. Tetapi karena satu dan lain hal perfilman Indonesia semakin
jeblok pada tahun 90-an yang membuat hampir semua film Indonesia berkutat dalam
tema-tema yang khusus orang dewasa. Pada saat itu film Indonesia sudah tidak
menjadi tuan rumah lagi di negara sendiri. Film-film dari Hollywood dan Hong
Kong telah merebut posisi tersebut.
Hal tersebut berlangsung sampai pada awal abad baru, hingga muncul
film Petualangan Sherina yang diperankan oleh Sherina Munaf, penyanyi
cilik yang penuh bakat Indonesia. Film ini sebenarnya adalah film musikal yang
diperuntukkan kepada anak-anak. Riri Riza dan Mira Lesmana yang berada di
belakang layar berhasil membuat film ini menjadi tonggak kebangkitan kembali
perfilman Indonesia. Antrian panjang di bioskop selama sebulan lebih menandakan
kesuksesan film ini secara komersil.
Setelah itu muncul film film lain yang lain dengan segmen
yang berbeda-beda yang juga sukses secara komersil, misalnya film Jelangkung
yang merupakan tonggak tren film horor remaja yang juga bertengger di bioskop
di Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Selain itu masih ada film Ada Apa
dengan Cinta? yang mengorbitkan sosok Dian Sastrowardoyo dan Nicholas
Saputra ke kancah perfilman yang merupakan film romance remaja. Sejak saat itu
berbagai film dengan tema serupa yang dengan film Petualangan Sherina (film
oleh Joshua, Tina Toon), yang mirip dengan film Jelangkung (Di Sini Ada
Setan, Tusuk Jelangkung), dan juga romance remaja seperti Biarkan
Bintang Menari, Eiffel I'm in Love. Ada juga beberapa film dengan
tema yang agak berbeda seperti Arisan!, Yang disutradarai oleh Nia Dinata.
Selain film-film komersil itu juga ada banyak film film
nonkomersil yang berhasil memenangkan penghargaan di mana-mana yang berjudul Pasir
Berbisik yang menampilkan Dian Sastrowardoyo dengan Christine Hakim dan
Didi Petet. Selain dari itu ada juga film yang dimainkan oleh Christine Hakim
seperti Daun di Atas Bantal yang menceritakan tentang kehidupan anak
jalanan. Tersebut juga film-film Garin Nugroho yang lainnya, seperti Aku
Ingin Menciummu Sekali Saja, juga ada film Marsinah yang penuh
kontroversi karena diangkat dari kisah nyata. Selain itu juga ada film film
seperti Beth, Novel tanpa huruf R, Kwaliteit 2 yang turut serta
meramaikan kembali kebangkitan film Indonesia. Festival Film Indonesia juga
kembali diadakan pada tahun 2004 setelah vakum selama 12 tahun.
Saat ini dapat dikatakan dunia perfilman Indonesia tengah
menggeliat bangun. Masyarakat Indonesia mulai mengganggap film Indonesia
sebagai sebuah pilihan di samping film-film Hollywood. Walaupun variasi genre
filmnya masih sangat terbatas, tetapi arah menuju kesana telah terlihat. Pada
suatu saat nanti kemungkin perfilman indonesia dapat seperti perfilman Amerika.
Selain
dalam berkembangnya film, banyak muncul persaingan dalam pasar industri film
dalam Negeri. Ketimpangan yang tidak sehat untuk tumbuhnya industri film ini
hanya bisa diperbaiki dengan memperbaiki iklim persaingan yang sehat. Banyak
yang berpendapat bahwa akhirnya pemerintah harus turun tangan. Namun, mengingat
sejarahnya, campur tangan pemerintah lebih banyak menambah kekeruhan daripada
kejernihan. Mungkin lebih baik kalau penyeimbangan ketimpangan itu dilakukan
dengan pertimbangan bisnis. Hal ini memang tidak akan terjadi dengan seketika
tapi butuh tawar-menawar terus-menerus antara para pelakunya. Para produser
harus mulai berani melakukan tawar-menawar itu, dan melihat kepentingan bersama
dalam jangka panjang.
Realitasnya
sekarang ini hanya ada dua kelompok pengedar/penayang: 21 dan Blitz. Ini bukan
keadaan yang ideal, karena sebaiknya minimal ada tiga jalur. Blitz, menurut
Ananda, sudah didekati banyak pengusaha bioskop kecil di daerah untuk
bergabung, tapi dengan satu syarat: jaminan suplai film nasional. Sesuatu yang
justru di luar kendalinya. Kalau produser mau menjawab kebutuhan ini, maka
Blitz akan lebih membesar, produser punya posisi tawar, di samping memperbesar
pendapatan yang sekarang ada. Angka satu juta untuk setiap judul film, rasanya
bukan angka yang terlalu muskil diraih, mengingat jumlah penduduk Indonesia
sekarang ini. Yang dibutuhkan adalah tambahan jumlah pengadaan
bioskop, guna memenuhi penggemar film dalam menonton. Karena dengan penambahan
bioskop di negeri ini, maka semakin banyak film yang dapat ditonton dan tidak
harus mengantri.
Hal yang
juga patut dipertimbangkan adalah kenapa 21 tidak “memecah diri” untuk
menghidupkan persaingan internal. Bukankah 123 gedung dan 485 layar itu bisa
dipecah menjadi tiga jalur dan dipimpin oleh tiga orang pemrogram tayangan
(dulu istilahnya booker, sekarang programmer),
hingga mereka bisa mengembangkan karakteristik masing-masing jalur sesuai hukum
tawar-menawar dengan penontonnya. Karakter bioskop ini yang sekarang tidak
terpelihara lagi. Semua jenis dan kualitas film menumpuk di satu gedung.
Bukankah persaingan sehat (luar maupun dalam) akan lebih mengembangkan
perusahaan? Kecuali, kalau persaingan memang dianggap sebagai momok, karena
sudah terlalu lama dibuai oleh kemudahan monopolistik. Itu berarti bukan
pengusaha sungguhan alias entrepreneur
Kalau dilihat dari isinya, film dibedakan menjadi jenis film
fiksi dan non fiksi. Sebagai contoh, untuk film non fiksi adalah film
dokumenter yang menjelaskan tentang dokumentasi sebuah kejadian alam, flora,
fauna maupun manusia. Sedangkan untuk kelompok fiksi, dalam dunia perfilman
kita mengenal jenis-jenis film yang berupa drama, suspence atau action, science
fiction, horror dan Film Musikal. Ada Apa dengan Cinta merupakan Film
Drama, Die Hard merupakan jenis Film Action atau Suspence, Transformer
merupakan film science fiction, Jaelangkung merupakan jenis film Horor
dan Petualangan Sherina yang pernah booming pada waktu lalu merupakan
jenis Film Musikal. Dari segi penontonnya, film dibagi menjadi film anak,
remaja, dewasa dan semua umur. Dari segi pemerannya, film dibedakan pula
menjadi film animasi dan nonanimasi. Sedangkan menurut durasinya, film
dibedakan menjadi film panjang dan film pendek. Film pendek mempunyai durasi
kurang dari 60 menit. untuk bisa membuat film panjang yang bagus, akan lebih
baik apabila kita belajar membuat film pendek terlebih dahulu, seperti
pengalaman sutradara terkenal, Rudi Sujarwo yang bisa berhasil membuat film
panjang dengan terlebih dahulu membuat film-film pendek yang bagus.
Sebagai salah satu pekerja film, Garin Nugroho sudah bisa
melihat adanya perkembangan di tahun depan. Sutradara senior ini mengatakan bahwa
kualitas film Indonesia akan lebih baik pada 2010, berbeda dengan 2009 yang
jumlahnya banyak namun kualitasnya turun. Garin di Jakarta, Kamis, (31/12/2010)
menegaskan bahwa sepanjang pengamatannya di tahun 2009 perfilman Indonesia
mengalami peningkatan dalam jumlah, namun kualitasnya menurun. "Kalau dari
segi jumlah meningkat namun dari segi kualitas film film kita menurun sepanjang
tahun 2009” katanya.
Ia mengakui, kualitas film Indonesia masih kalah dengan
negara tetangga seperti Singapura, Thailand, atau Filipina. Namun pada 2010 dan
tahun-tahun kedepan, ia yakin bahwa peningkatan kualitas film Indonesia akan
terjadi seiring lahirnya sineas generasi baru pasca Riri Riza dkk. "Akan
lahir generasi baru yang sehebat Riri Riza, Nia Dinata dan lain sebagainya,katanya.
Oleh karena itu Garin Nugroho memprediksi bahwa peningkatan
kualitas film Indonesia tidak terlalu signifikan. Generasi baru yang akan
muncul berasal dari wajah baru ataupun wajah lama yang selama ini belum diberi
ruang untuk mengembangkan karyanya ke publik untuk dinikmati masyarakat luas,
baik dari kalangan menengah keatas. "Saya optimis bahwa kualitas perfilman
di Indonesia akan terus mengalami peningkatan di tangan sutradara handal yang
sudah ada dan lahirnya para generasi baru mendatang," katanya.
Namun pada kenyataan saat ini, para sutradara pembuat film
sangatlah kreatif dalam membuat karyanya ke ranah publik. Seperti film Laskar
Pelangi, Senandung diatas Awan, dan lain-lain. Dan ada film yang terbaru
saat ini seperti Perahu Kertas dan Cita-citaku setinggi Tanah. Dengan
munculnya film-film baru tersebut cukup mewarnai dunia perfilman di Indonesia.
Selain itu juga film-film kreatif yang muncul saat ini tidak hanya menampilkan
pemain-pemain film yang lama, namun banyak memunculkan wajah-wajah baru dalam
kancah film Indonesia yang hanya didominasi oleh wajah lama.
Referensi
1.
JB
Kristanto, dalam buku Katalog Film Indonesia dan juga berprofesi sebagai
pengamat film di Indonesia.
3.
Misbach
Yusa Biran menyajikan Sejarah Film Indonesia bagian 1
(tahun 1900-1950)
Salam, saya cuba mencari buku/artikel tentang sejarah perfileman horror di Indonesia, terutama pada period hujung 1070an hingga awal 80an. apa buku yang boleh saya rujuk?
ReplyDelete